Sepertinya sulit sekali mengurus negara ini. Padahal yang namanya perangkat hidup bernegara sudah lengkap. Kurang lengkap dilengkapi. Semua aturan dibuat. Kurang lengkap dibuat lagi.
Sekejap lagi usia negara genap 80 tahun. Kita terus saja bertengkar dan cemas. Tiba-tiba nantinya usia sudah seratus tahun. Masih syukur kalau jalan di tempat dan nyampe. Kalau duluan ambyar bagaimana?
Analoginya sederhana saja. Mengurus negara itu tidak jauh bedanya seperti mengurus rumah tangga. Rumah dan perangkat rumah lengkap, anggota keluarga ada, kepala keluarganya ada, pembantu rumah juga ada. Namun, jika suasana keluarga ‘broken home’, rumah tangga pasti ambyar.
Apakah sebuah rumah tangga bertahan karena lengkapnya aturan? Tidak. Karena lengkapnya perangkat rumah? Tidak juga. Lantas apa?
Harmoni. Hidup mereka harmonis. Suami sebagai kepala rumah tangga punya kepemimpinan, meski mungkin sederhana. Ia mampu menata hati dan pikiran isteri dan anak- anak. Berperilaku jujur dan bijak.
Memberi contoh baik kepada anak-anak. Mencari nafkah dengan rajin dan jujur. Jauh dari sikap dan perilaku menyimpang. Dulu ada perilaku Molimo dalam masyarakat kuno. Tidak melakukan 5 M. Yakni, mabuk, main (judi), madon (gila perempuan), madat, dan maling (sekarang korupsi).
Itu saja. Oya, memang mengurus negara lebih kompleks. Semua juga tahu. Tapi prinsipnya ya itu tadi. Kuncinya ada pada pemimpin.
Lihatlah contoh negeri kita ini. Pancasila dan UUD kurang lebih masih sama. Memang ada sedikit perubahan, tapi secara prinsip kenegaraannya tidak berbeda. Bahkan muncul isu berkembang untuk kembali lagi ke UUD yang murni.
Apakah akan membawa perubahan fundamental? Misalnya seketika negeri menjadi makmur, bebas korupsi, semua pejabat jadi rajin, disiplin dan jujur? Anda yakin? Saya tidak.
Apakah ideologi kita kurang kuat? Siapa bilang? Pancasila dari dulu sudah seperti itu. Tidak ada yang berani mengubah. Apakah agama sudah lemah? Siapa bilang? Masjid, gereja, pura, vihara, dan kelenteng tambah banyak dan tambah bagus saja.
Apakah tokoh-tokohnya tambah lemah? Tidak juga. Malah tambah banyak saja. Apakah pendidikan nyungsep? Tidak juga. Jumlah doktor tambah banyak, profesor juga. Malah, bermunculan pula profesor honoris causa entah dari mana asal usulnya.
Jadi apa ya? Pemimpin! Sejarah ataupun teori telah sepakat dan mencatat. Persis seperti analogi sederhana diatas tadi. Masalahnya ada pada kepala rumah tangga. Sejarah sukses suatu negara adalah bertumpu pada pemimpinnya. Apakah itu namanya raja, kaisar, presiden, perdana menteri.
Sejarah Mesir kuno, Tiongkok kuno, Eropa kuno sampai kepada Amerika Serikat yang modern. Tiongkok masa kini sampai Asia Tenggara masa kini. Kesuksesan negara – negara itu terletak pada Pemimpinnya. kuncinya ada pada pemimpinnya.
Teori strukturasi dari Anthony Giddens pun mengingatkan. Negara bergantung pada dua hal. Pertama pada struktur atau sistem yg dibuat. Yang kedua pada para pemimpin yang dia sebut sebagai agency. Dari kedua elemen itu, yang utama adalah agency. Karena agency lah yang akan mampu mengubah sistem. Bukan sebaliknya.
Para pengamat Tiongkok sekarang tidak peduli lagi menganalisis sistem yang berdasar pada ideologi komunis atau bukan. Kemajuan Tiongkok bergantung pada siapa pemimpinnya. Demikian pula preferensi analisis pada negara-negara lain.
Lihat siapa pemimpinnya. Indonesia pun tentu begitu. Wahai pemimpin. Lihatlah pada dirimu. Andalah pemimpin kami sekarang. Tegakkan kepalamu. Bawalah nasib bangsa ini dengan wibawamu. Wibawamu sendiri!
(BR 08-03-2025)
Oleh:
Bustami Rahman
(Guru Besar Universitas Bangka Belitung)