Desakita.co – Di tengah desa yang tenang di Kecamatan Sumobito, terdapat sebuah usaha yang telah berkembang, membawa angin segar bagi perekonomian lokal. Didin Hari Prasetyo, seorang perajin tas souvenir atau tas hajatan asal Dusun Sidokampir, Desa Budugsidorejo sejak awal bertekad untuk memberdayakan masyarakat sekitar melalui kerajinan tas hajatan.
Awal mula perjalanan bisnis tas hajatan ini tidaklah mudah. Didin mengungkapkan, sebelum memulai usaha sendiri, ia sempat bekerja dengan seorang perajin lain. Dengan modal yang cukup, ia akhirnya berani membuka usaha sendiri. ”Dulu saya mulai dengan ikut orang, Mbak Nita. Saya bagian potong bahannya. Setelah itu, saya dapat modal sedikit dan akhirnya 2016 bisa buka usaha sendiri,” ujar Didin kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Proses pembuatan tas hajatan yang dilakukan Didin cukup unik dan melibatkan banyak tenaga kerja lokal. Semua dimulai dari lembaran kain spone bon masih berbentuk rol besar. Kain tersebut dipotong sesuai ukuran, lalu disablon dengan motif tertentu. Setelah disablon, kain dijemur selama dua hingga tiga hari agar kering sempurna. ”Setelah kering, kain-kain ini kami kirim ke rumah-rumah penjahit yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar desa. Mereka tinggal menjahit tas di rumah masing-masing karena bahannya siap pakai, mulai dari kain, benang, hingga plastik,” imbuh lelaki berusia 35 tahun ini.
Salah satu keunikan dari usaha ini, yakni memberdayakan masyarakat sekitar. Dengan melibatkan ibu-ibu rumah tangga sebagai penjahit, usaha ini tidak hanya memberikan pekerjaan. Tetapi juga meningkatkan ekonomi keluarga di Dusun Sidokampir. ”Pekerjaan ini tidak hanya memberikan penghasilan bagi saya, tapi juga membuka peluang bagi tetangga untuk bekerja. Kebanyakan ibu-ibu di sini bisa membantu ekonomi rumah tangga mereka dengan menjahit tas di rumah,” tambah Didin.
Tas hajatan yang dihasilkan tidak hanya dijual di pasar lokal. Tetapi juga telah menembus pasar luar Jombang. Pelanggan tetap Didin tersebar di berbagai wilayah di Jawa Timur. Seperti Ponorogo, Madiun, dan Blitar. Terkadang, ada pula pesanan khusus dengan jumlah yang lebih besar, yang harus diproduksi dalam waktu tertentu.
Dalam sehari, Didin mampu memproduksi sekitar 250 lusin tas. Tergantung tingkat kesulitan desain dan model. Untuk pesanan yang lebih mudah, tanpa sablon, produksinya bisa mencapai 500 lusin per hari.
Hal ini membuat usaha kerajinan tasnya cukup fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang beragam. ”Alhamdulillah, kami sudah punya pelanggan tetap, bahkan ada PO yang datang satu atau dua minggu sebelumnya,” ujar Didin.
Harga tas souvenir yang dihasilkan bervariasi, tergantung pada ukuran dan tingkat kesulitan pengerjaannya. Tas yang paling sederhana, berukuran 18 sentimeter persegi tanpa sablon dihargai Rp 9.000 per lusin. ”Sementara tas dengan motif dan bahan kain yang lebih tebal, ukuran 22 sentimeter persegi Rp 24.000 per lusin,” sebut dia.
Dengan harga yang terjangkau, produk tas souvenir ini sangat diminati oleh berbagai kalangan, baik untuk acara hajatan, sebagai souvenir, atau untuk keperluan lainnya. ”Semoga usaha ini terus berkembang dan lebih banyak lagi ibu-ibu rumah tangga yang bisa terbantu dengan pekerjaan ini. Saya juga ingin memperkenalkan tas-tas buatan Budugsidorejo ke pasar yang lebih luas lagi,” kata Didin. (
Musim Hajatan, Pesanan Melonjak Tajam
SEMENTARA itu, di musim hajatan, terutama pernikahan, khitanan, dan Lebaran, permintaan tas hajatan melonjak tajam. Meski begitu, Didin Hari Prasetyo selalu bisa memenuhi pesanan lantaran dibantu tangan terampil ibu-ibu penjahit tas yang tersebar di sejumlah dusun.
Menurut Didin Hari Prasetyo, perajin asal Dusun Sidokampir, permintaan tas souvenir biasanya meningkat drastis menjelang dua momen utama. Saat musim hajatan dan bulan puasa hingga Lebaran. Dari dua momen tersebut, musim hajatan menjadi puncak tertinggi permintaan. ”Kalau mau musim hajatan, pasti naik. Lebih dari 250 lusin bisa dalam sehari. Tapi saya nggak pernah hitung totalnya, karena memang ramai terus,” ujar Didin.
Ketika Ramadan atau jelang Lebaran, jenis pesanan pun bergeser. Tas tidak hanya digunakan untuk acara hajatan, tapi juga untuk membungkus parcel Lebaran yang banyak dipesan toko-toko. Lebaran yang lalu misalnya, Didin menerima pesanan sebanyak 3.000 tas parcel. Angka yang menurutnya masih terbilang kecil dibandingkan dengan pesanan yang diterima oleh perajin lainnya. ”Itu masih sedikit. Banyak teman-teman lain yang dapat pesanan sampai lima kali lipat dari saya. Karena usaha saya ini terbilang masih kecil,” imbuh dia.
Di balik produksi tas souvenir ini, ada jaringan kerja rumahan yang terorganisir secara sederhana namun efektif. Didin menyebutkan di tempat usahanya dibantu oleh empat orang dalam proses awal produksi. Setelah bahan siap, proses menjahit dikerjakan para penjahit yang tersebar di rumah-rumah warga, sebagian besar ibu rumah tangga. ”Untuk yang jahit kami nggak tahu persis berapa orang, karena dikoordinasi pengepul. Tapi yang pasti, tas sudah sampai ke kami dalam kondisi sudah jadi,” tutur Didin.
Desa Budugsidorejo selama ini juga dikenal sebagai salah satu sentra produksi tas hajatan. Bahkan, dalam satu dusun saja bisa terdapat empat perajin aktif. Namun, pusat produksi terbesar justru berada di Dusun Besuk, Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito.
Dengan semangat kewirausahaan dan jaringan produksi yang melibatkan warga sekitar, kerajinan tas hajatan dari Budugsidorejo terus berkembang. Tidak hanya menjadi sumber penghasilan utama bagi para perajinnya, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi lokal berbasis kerajinan tangan yang khas dan fungsional. ”Kalau Lebaran itu moment tahunan. Tapi ketika hajatan, itu bisa datang kapan saja. Jadi permintaan juga bisa terus ada sepanjang tahun,” kata Didin. (fid/naz)