Desakita.co – Suasana bulan puasa dan lebaran Idul Fitri di Jombang hampir seabad lalu, terekam dalam artikel di surat kabar De Indische Courant.
Pertama di berita berjudul Poeasa-vacantie (liburan puasa) terbit pada edisi 1 Maret 1928. Kemudian, ada tiga peristiwa sekitar perayaan lebaran yang dimuat edisi 28 Maret 1928.
“Saya menemukan beberapa artikel dari sumber website delpher.nl,” kata Moch. Faisol, salah satu penelusur sejarah di Jombang.
Koresponden De Indische Courant di Jombang melaporkan, dengan datangnya bulan Ramadan yang dimulai Kamis, 23 Februari 1928, libur panjang puasa juga dimulai.
Sejak seminggu sebelumnya, sekolah negeri pribumi (Inlandsche School) dan sekolah desa (desa scholen) di afdeling Jombang diliburkan.
Baca Juga: Menelusuri Pal Titik Nol Kilometer Jombang: Penanda Hitungan Metrologis Sekaligus Tetenger Kota
Berkat prakarsa Asisten Wedono Jombang, para siswa sekolah desa di onderdistrict Jombang (Jombang kota, Diwek, Tembelang, Gudo, Perak) dapat memanfaatkan waktu istirahat ini dengan menyenangkan.
Pejabat administrasi Belanda berhasil mengatur agar pemilik Bioskop Ideal untuk mengadakan pertunjukan kepada para siswa sekolah dengan biaya murah.
Pada Sabtu, 18 Februari 1928 sore hari, sekitar 700 anak sekolah yang sudah berkumpul di depan rumah Asisten Wedono, berbaris beriringan menuju gedung bioskop.
Di sana, ditayangkan sederet film-film lucu dan menggelikan yang sangat digemari para penonton cilik. Terbukti dengan larisnya pemutaran film-film tersebut.
Sorakan yang bergema terdengar tanpa henti di aula yang penuh sesak. Beberapa siswa dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan sekolah kelas 2 setempat menghadiri pertunjukan tersebut sebagai tamu undangan.
“Selanjutnya koran ini juga memberitakan beberapa kejadian di sekitar lebaran 1 Syawal 1346 yang bertepatan dengan hari Jumat, 23 Maret 1928,” lanjut Faisol.
De Indische Courant edisi Rabu, 28 Maret 1928 merangkum terjadinya kecelakaan lalu lintas di Mojoagung, aksi gantung diri di desa Pesanggrahan kecamatan Gudo dan korban ledakan petasan di Jombang.
Koresponden surat kabar itu menulis peristiwa bunuh diri di Gudo. Hari Jumat, 23 Maret 1928 tepat di hari raya Idul Fitri, warga Desa Pesangrahan (Gudo) yang sedang bergembira karena lebaran, dikejutkan dengan datangnya kabar dari mulut ke mulut. Awalnya ada yang melaporkan terjadinya kecelakaan.
Ternyata, salah satu warga bernama Pak Simpen, penduduk asli desa tersebut, berusia lebih dari 60 tahun, bunuh diri dengan cara gantung diri. Namun, apa yang menyebabkan lelaki tua ini untuk bunuh diri tepat di hari lebaran ini, masih belum jelas.
Sementara itu, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan jatuh korban, terjadi pada hari Sabtu, 24 Maret 1928.
Sehari setelah lebaran, sebuah kecelakaan serius terjadi di Mojoagung. Tepatnya di sekitar jalan raya dekat barak Veldpolitie Mojoagung (sekarang perempatan Polsek Mojoagung).
Peristiwa ini merenggut nyawa gadis pribumi bernama Satianah, warga Desa Peterongan.
Berawal dari sebuah bus dan mobil, yang dikemudikan oleh pemiliknya, pegawai kebun berinisial v.d. K. dari pabrik gula Ngelom Ploso.
Kedua kendaraan sedang berpapasan dari arah berlawanan di TKP, tiba-tiba gadis itu muncul dari belakang bus yang langsung menyeberang dan memotong jalan.
Gadis berusia tiga belas tahun itu ditabrak mobil dan terseret beberapa meter. Saat mobil dihentikan, ternyata dia sudah meninggal dunia.
Soal siapa yang bersalah masih didalami Veldpolitie. Tuan v.d. K. yang dikenal sebagai pengemudi yang sangat berhati-hati sangat terkejut dengan apa yang terjadi.
Surat kabar De Indische Courant edisi 28 Maret 1928 juga menulis: “Korban ledakan petasan.
Di surat kabar ini, kita sudah membaca tentang kecelakaan yang terjadi saat perayaan lebaran di Surabaya akibat ada yang sembarangan menyalakan petasan.
Kita dapat berasumsi bahwa kecelakaan serupa terjadi di beberapa tempat, termasuk di Djombang.
Dokter kami menerima tidak kurang dari lima kasus untuk pengobatan. Tiga di antaranya melibatkan anak-anak berusia dua tahun.
Dua dari anak-anak ini, masing-masing mengalami luka terkoyak dan putus dua jari tangan kirinya. Sementara yang orang dewasa, satu mata kanannya terluka parah.
Karena kecelakaan ini sering terjadi setiap tahunnya, kami bertanya-tanya kapan orang-orang akhirnya akan menyadari bahaya yang terkait dengan menyalakan petasan secara sembarangan.
Terutama petasan yang kualitasnya buruk. Kapan orang tua akan menyadari betapa tidak bertanggungjawabnya membiarkan benda berbahaya seperti kembang api atau petasan di tangan anak-anak?
”Ternyata beberapa peristiwa hampir seabad lalu, masih relevan juga dengan situasi saat ini,” kata Faisol.
Pada perayaan lebaran saat ini pun masih terjadi kecelakaan lalu lintas yang menelan korban jiwa atau anak-anak yang bermain petasan. Karena itu, sudah sepantasnya jika petasan memang dilarang karena sangat membahayakan. (ang/ang)