Desakita.co – Soekeni alias Raden Sosro di Hardjo atau lebih dikenal dengan Raden Soekeni, lahir di Wirosari, Grobogan, Jawa Tengah 15 Juni 1873.
Ayahnya bernama R Hardjo di Kromo, seorang carik atau juru tulis/sekretaris desa.
Pada 1885, R Soekeni lulus dari Hollandsche Indische School (HIS) Tulungagung, kemudian melanjutkan ke sekolah calon guru Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) di Probolinggo.
Lulus dari HIK Probolinggo tahun 1889, dia diangkat dan ditugasi sebagai guru di Tweede Klasse Inlandsche School (IS) Kraksaan.
Dua tahun kemudian, R Soekeni dimutasi ke Tweede Klasse Inlandsche School di Singaraja Bali pada 10 Oktober 1891.
Di sinilah R Soekeni bertemu dengan Ni Nyoman Rai alias Ida Nyoman Aka yang di masa kecilnya dipanggil Nyoman Rai Srimben.
Gadis asal Bale Ageng Buleleng kelahiran 1 Januari 1881 ini berasal dari keluarga seorang pemangku pura.
Meskipun sempat tidak direstui oleh keluarga mertuanya, I Nyoman Pasek dan Ni Made Liran, tetapi R Soekeni tetap nekat menikahi Ni Nyoman Rai pada 15 Juni 1897 secara ‘kawin lari’.
Sembilan bulan kemudian, tepatnya 29 Maret 1898 lahirlah putri pertama mereka. Kakak kandung Bung Karno ini lahir di Bali yang diberi nama R Soekarmini Sosro di Hardjo.
Menurut pemerhati sejarah dan cagar budaya Tjahjana Indra Kusuma, sesuai adat di Bali, seorang wanita apabila menikah, akibat budaya paternalistik, pasti ikut suami dengan ketentuan yang sangat kaku.
“Wanita setelah dinikahi dengan ‘kawin lari’, otomatis tercerabut dari ‘budaya’ keluarganya,” tegasnya.
Kehilangan hak terhadap waris dan aset, keistimewaan dan bahkan hubungan darah.
Sehingga menjadi tanggungjawab penuh atau seluruhnya bagi pria yang menjadi suaminya.
Selanjutnya keluarga kecil itu terpaksa pindah ke Surabaya. Ayah Bung Karno lalu menjadi guru di Surabaya mulai Agustus 1898 sampai akhir 1901.
Dia menerima besluit No. 12924 tertanggal 28 Agustus 1898 dengan jabatan pembantu kepala sekolah bergaji f 30 (tiga puluh florin/gulden). Keluarga R Soekeni tinggal di kampung Pandean Surabaya.
Tiga tahun kemudian R Soekeni menerima besluit No. 14209 tanggal 15 November 1901 berupa kenaikan gaji berkala.
Gaji tambahan bulanan bertambah f 10 (sepuluh florin/gulden).
Pada 28 Desember 1901, pemerintah kolonial Belanda kembali memindahkan ayah Bung Karno. R Soekeni menerima besluit No. 16232 untuk pindah tugas ke wilayah Ploso di Jombang.
Dari sebelumnya menjabat sebagai hulponderwijzers erste klase di Surabaya menjadi openbaar Inlandsch onderwijzer tweede klasse di Inlandsche School (IS) Ploso. Secara resmi naik jabatan menjadi Mantri Guru atau kepala sekolah.
”Tanggal 28 Desember 1901 ini berdasarkan dokumen besluit yang dimuat di buku Ibu Bangsa, terbitan 2012,” kata Binhad Nurohmat, salah satu pemerhati sejarah Jombang yang getol menelusuri jejak Bung Karno, khususnya di Ploso Jombang.
Sebagai mantri guru sekolah pribumi di Ploso, mulai 12 Mei 1902, R Soekeni mendapat gaji bulanan senilai total f 50 (lima puluh florin/gulden).
Dia bersama keluarganya menetap di rumah Rejoagung Ploso selama enam tahun hingga 1907.
Tweede Klasse Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro merupakan sekolah dasar dengan masa pendidikan selama tiga tahun yang tersebar di pelosok desa.
Target pendidikan dasar ini hanyalah sekadar memberantas buta huruf dan mampu berhitung alias ca-lis-tung.
Lulusannya diharapkan bisa membaca, menulis dan berhitung saja. Bahasa pengantar yang dipakai bahasa daerah dengan guru tamatan dari HIK.
Bahasa Belanda menjadi mata pelajaran pengetahuan, dan bukan sebagai mata pelajaran pokok. Namun setelah tamat sekolah ini, alumnusnya masih dapat meneruskan pada Schakel School (sekolah persamaan) selama 5 tahun.
Nanti, tamatannya akan sederajat dengan lulusan Hollandsche Indische School (HIS).
Berbeda dengan ayahnya yang mengajar di Tweede Inlandsche School (IS), Soekarno kecil yang kala itu masih bernama Kusno justru bersekolah di tempat lain. Kusno dimasukkan sekolah desa atau Volkschool Ploso.
Pada masa itu sistem pendidikan masih catur wulan (cawu), belum semester.
“Tahun ajaran baru dimulai awal tahun pada bulan Januari, bukan Juli seperti sekarang,” kata Tjahjana Indra. Si kecil Kusno sering sakit-sakitan, sekolah di Ploso tidak lama, hanya beberapa cawu saja.
“Lokasi sekolah Bung Karno kecil dengan sekolah tempat mengajar ayahnya memang berdekatan,” kata Binhad yang pernah mengunjungi secara langsung bekas reruntuhan sekolah Ongko Loro Ploso itu.
Jadi, Bung Karno dan ayahnya tidak di satu sekolahan. ”Pada masa agresi militer kedua bulan Desember 1948, sekolah bekas tempat mengajar ayah Bung Karno itu hancur terkena bom,” lanjut Binhad.
Sedangkan rumah yang menjadi kediaman keluarga, berada di desa Ngelo (sekarang berubah menjadi desa Rejoagung). Letak rumah berdinding bambu itu di gang buntu sebelah barat rel kereta api jalur Jombang-Babat.
Pada peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina 31 Agustus 1921, R Soekeni mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Bintang Perak (Zilveren Ster).
Diberikan sebagai bentuk apresiasi kontribusinya pada dunia pendidikan dan berprestasi dalam kinerja yang tinggi penuh pengabdian.
Karena itu, dia berhak menuliskan gelar di belakang namanya menjadi: Soekeni alias Raden Sasra di Hardja (Z. St). Di setiap data Regerings Almanaak, nama dan gelar selalu dituliskan.
Selanjutnya setelah dari Ploso, berturut-turut R Soekeni pindah pada 23 November 1907 tugas ke Sidoarjo.
Lalu 22 Januari 1909 mutasi ke Mojokerto. Kemudian pindah mengajar sebagai inlandsche onderwijzers di Normaalschool Blitar, berdasarkan besluit tertanggal 5 Juli 1917.
Di Blitar inilah, kedua orangtua Bung Karno menghabiskan masa tuanya dengan menetap paling lama setelah pensiun mengajar.
R Soekeni meninggal pada tanggal 18 Mei 1945 di Jakarta, sedangkan ibunda Bung Karno tinggal di Istana Gebang Blitar sampai meninggal 12 September 1958. (ang)