Desakita.co – Tertarik untuk belajar di negara-negara frankofon, atau yang menggunakan Bahasa Prancis sebagai bahasa resmi, Mohammad Qoimam Bilqisthi Zulfikar berhasil meraih beasiswa Eramus Mundus program double degree lintas negara yaitu di University of Liège, Belgia, dan di École des Hautes Études en Santé Publique (EHESP), Prancis.
”Saya memilih untuk melanjutkan studi di Eropa karena ingin memperdalam pemahaman mengenai kebijakan kesehatan, khususnya yang berfokus pada aspek promotif dan preventif,” kata Gus Qoimam, begitu para santri menyapanya.
Qoimam lahir dan besar di lingkungan religius, tepatnya di Asrama As’adiyah, Kompleks Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Peterongan, Jombang. Qoimam tumbuh dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai pendidikan dan pengabdian. Ayahnya, Zulfikar As’ad dan ibunya, Afifa Syamsun Zulfikar, keduanya merupakan akademisi sekaligus praktisi kesehatan yang banyak menginspirasi langkah karier putranya. Sejak kecil, cita-cita Qoimam tidak pernah berubah yaitu menjadi dokter.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SD Plus Darul Ulum Jombang (lulus 2008), ia kemudian melanjutkan di SMPN 3 Peterongan (lulus 2011). Setelah itu ia lanjut di SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT Jombang (lulus 2014) jurusan IPA, karena sejak kecil ia ingin jadi dokter. Setelah lulus ia kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya jurusan pendidikan dokter lulus tahun 2019, dan menempuh pendidikan profesi dokter di kampus yang sama dan lulus 2022. Tak berhenti sampai di situ, hasratnya untuk memahami kesehatan dari sisi yang lebih luas membawa langkahnya jauh ke Eropa.
Saat ini, Qoimam tercatat sebagai mahasiswa program double degree Erasmus Mundus dalam bidang Kesehatan Masyarakat. Tahun pertamanya ia habiskan di University of Liège, Belgia (2023–2024), dan tahun keduanya di École des Hautes Études en Santé Publique (EHESP), Rennes, Prancis (2024–2025). Di sela perkuliahan, ia tinggal di Résidence Villermé, sebuah asrama mahasiswa di kota Rennes. ”Awalnya saya hanya menargetkan Prancis sebagai negara tujuan studi, karena ingin belajar di negara frankofon. Namun, saat mengenal program Erasmus Mundus, saya sadar ini adalah peluang emas. Belajar di dua negara, mendapat dua gelar, dan memperluas jejaring internasional,” ujarnya.
Program tersebut tak hanya membuka kesempatan akademik, tetapi juga profesional. Di luar kegiatan kuliah, Qoimam juga menjalani magang riset di salah satu pusat penelitian kampus di Prancis. Fokus risetnya adalah mengevaluasi intervensi kesehatan bagi tenaga kesehatan di negara-negara anggota OECD. Ia juga kerap hadir dalam konferensi internasional, termasuk di Vienna, Saint-Malo, dan Paris.
Selain prestasi akademik, Qoimam juga aktif dalam organisasi mahasiswa dan keagamaan di luar negeri. Ia dipercaya sebagai ketua PPI Kota Liège (2023/2024), wakil ketua Tanfidziyah PCINU Belgia (2023–2025), dan kini menjabat sebagai kepala humas PPI Rennes (2024/2025). ”Organisasi menjadi wadah penting untuk tetap terhubung dengan komunitas Indonesia di luar negeri, sekaligus memperkuat diplomasi budaya dan solidaritas,” ujarnya.
Hidup di luar negeri menurutnya tidak selalu mudah. Tantangan terbesar datang dari perbedaan sistem pendidikan dan budaya. ”Kuliah di Belgia dimulai pukul 7 pagi dan bisa selesai pukul 7 malam. Materinya padat, apalagi dalam bahasa Prancis. Itu pengalaman yang cukup mengguncang di awal,” tutur Qoimam.
Namun, ia juga mengapresiasi pendekatan pembelajaran yang lebih setara dan dialogis antara dosen dan mahasiswa di Eropa. Meski sempat mengalami culture shock seperti kebiasaan membuang ingus di kelas, atau dosen duduk di atas meja, ia mengaku lambat laun mulai memahami dan menyesuaikan diri.
Untuk bisa kuliah di luar negeri, Qoimam menyarankan untuk memulai persiapan sejak dini. ”Kemampuan bahasa adalah kunci. Selain itu, penting juga menyiapkan dokumen dengan baik, aktif di organisasi, dan punya pengalaman profesional,” ungkapnya. Ia sendiri memiliki sertifikat IELTS, TOEFL iBT, dan DELF B2 (Bahasa Prancis), serta didampingi oleh mentor dari komunitas Erasmus Plus Indonesia saat mendaftar.
Ia juga mendorong untuk mempertimbangkan kuliah S2 sebagai pilihan realistis ketimbang langsung S1 di luar negeri. ”Di jenjang S2, kita lebih siap secara mental, dan bisa membawa pengalaman S1 di Indonesia sebagai bekal akademik dan karier yang solid,” pungkasnya. (wen/naz)
Respon (1)