Desakita.co – Menurut Sunarto, untuk bisa merantau ke negeri orang, minimal harus memahami bahasanya.
Karena bahasa adalah jendela budaya.
Bahkan, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris saja tidak cukup.
Karena banyak jamaah yang berasal dari India, Pakistan serta Bangladesh.
’’Jadi saya memaksakan diri untuk belajar Bahasa Urdu. Melalui keterpaksaan itu, ilmu saya menjadi bertambah,’’ kata ayah dua anak ini.
Dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Arab yang ia pelajari di pesantren tidak banyak terpakai.
’’Bahasa Arab percakapan sudah mengalami banyak percampuran dengan bahasa asing lain,’’ terangnya.
Dari sisi teori, ia sudah mempelajari seluruh ilmu yang berhubungan dengan tugasnya saat di pesantren.
Kini tinggal praktik di tengah masyarakat yang multikultur.
Namun itu bukan berarti ia tak lagi belajar.
Sunarto mengikuti berbagai kegiatan lain, seperti lomba hafalan, khususnya hafalan hadis. Mengikuti lomba itu, baginya adalah belajar.
’’Secara tidak langsung, pemerintah UEA memfasilitasi saya untuk belajar, menghafal dan memahami hadis,’’ jelas pria yang hobi membaca ini.
Di sana, dia juga mendapatkan fasilitas sanad Alquran dengan para masayikh.
’’Bagi mereka yang ingin belajar, ada halaqah dengan para masayikh,’’ tambahnya.
Sejak menjadi santri di MQ Tebuireng, Sunarto sering meraih prestasi.
Di antaranya, juara 1 pidato Bahasa Arab se-Jawa Timur. Serta juara 1 musabaqah hifzil Quran (MHQ) 10 juz tingkat nasional.
Dia memiliki kiat tersendiri dalam menjaga hafalan Alquran.
’’Salah satu cara menjaga hafalan yaitu dengan terus dibaca. Khususnya membaca dalam salat,’’ ungkapnya.
Sunarto juga memboyong istrinya, Ittaqi Tafuzi ke UEA.
Demikian pula kedua anaknya, Bitriqa Shamsa Aishie dan Unadik Belhoubb. Mereka tinggal di Kuwaiti Street, Ras al Khaimah, Uni Emirat Arab.
’’Anak pertama saya masih umur tiga tahun. Rencananya TK di Indonesia,’’ bebernya. (wen/jif/ang)