Desakita.co – Tiga kali merasakan berlebaran di Mesir, kini Arini Shohihalhaq Zaimuddin mencoba pengalaman barunya berlebaran di Inggris.
Ia merasakan perbedaan yang sangat mencolok, merasakan hari raya di negara mayoritas dan minoritas Islam.
”Saya ingin merasakan, bagaimana Ramadan dan Idul Fitri di negara yang minoritas Islam,” kata Arini, mahasiswa semester 7 Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, jurusan Tafsir dan Ilmu Alquran.
Ia memutuskan untuk pergi ke Inggris mengunjungi sang kakak, Ashlaha Baladina, yang sedang menempuh kuliah S2 di sana.
Ia berangkat 10 hari terakhir bulan Ramadan. ”Alhamdulillah orang tua merespons baik, dan mengizinkan saya untuk pergi ke Inggris,” kata Qocik, sapaan akrabnya.
Menurutnya, Inggris merupakan negara yang tertib, bersih, dan tertata rapi.
”Kalau saya hanya memandang sesuatu dari kacamata yang baik saja,” jelasnya.
Saat malam terakhir bulan Ramadan, ia tak merasakan semarak takbir, tidak mendengar gema takbir, lampu hias, apalagi takbir keliling seperti di Indonesia.
”lampu hias bertema Idul Fitri hanya terlihat di beberapa sudut kota saja,” ungkapnya.
Di Inggris juga tidak ada libur hari raya. Qocik menjalankan salat Id di KBRI London.
Di sana cukup ramai, sama seperti KBRI Cairo, tempat ia berlebaran tiga tahun sebelumnya.
Selesai salat Id, ia antre untuk mengambil makanan Lebaran, yaitu opor ayam.
”Sembari mendengarkan lantunan takbir yang dilantunkan takbiran dari ibu Fatayat NU UK.
Nadanya khas seperti orang Indonesia pada umumnya, lumayan untuk obat rindu berlebaran bersama keluarga di rumah,” ungkapnya.
Lebaran di KBRI London tidak terlalu banyak rasa yang berbeda. Acara semakin meriah dengan datangnya Armand Maulana naik panggung bersama Dubes RI Desra, dengan membawa alat musik saxophone.
”Ternyata mereka berduet menyanyikan lagu yang berjudul 11 Januari. Semua menikmat pertunjukan musik tersebut, sambil mengangkat ponselnya untuk merekam.
Saya tersenyum dalam hati, selama ini saya Lebaran hanya mendengarkan takbiran saja sampai tiga hari setelahnya.
Tetapi, di sini saya merasakan hal yang berbeda, merayakan kemenangan dengan takbiran dan bonus menyaksikan Armand berduet dengan pak Desra,” ungkapnya.
Sementara itu, tiga kali Lebaran di Mesir, ia selalu jatuh cinta pada Mesir.
Negara yang dijuluki Negeri Para Nabi, Negeri Seribu Wali, dengan penduduk yang mayoritas Muslim sangat terasa perbedaannya dengan bulan-bulan Hijriah lainnya. ”Sangat terasa istimewanya,” ungkapnya.
Semua penduduk Mesir berlomba-lomba memberatkan timbangan amal baiknya, seperti memberikan tunjangan hari raya. Bahkan kepada para mahasiswa asing yang bukan sanak saudara.
Baca Juga: Cerita Cahyani Ratna Sari Alumnus SMK BIM Jombang Sukses Berkarir di Jepang Sejak 2019
”Kami di sini dianggap sebagai orang yang sedang jihad fi sabilillah, karena sedang menuntut ilmu dan jauh dari keluarga,” jelasnya.
Bahkan mahasiswa atau pelajar dari luar negeri bisa berbuka puasa gratis di Masjid Al Azhar setiap hari.
”Itu membuat kami sangat terenyuh, karena para masyayikh (guru spiritual Al Azhar sangat mengistimewakan kami, para pelajar dari luar negeri,” ungkapnya.
Qocik kini memasuki semester tujuh dalam pendidikannya.
Ia kuliah di Al Azhar secara gratis karena mendapatkan beasiswa dari universitasnya.
”Alhamdulillah saya lulus tesnya, orang tua hanya menanggung biaya hidup,” pungkas putri KH Zaimudin Wijaya As’ad ini. (wen/naz/ang)
