Desakita.co – Impian Ashlaha Baladina Zaimuddin untuk kuliah di Eropa tercapai.
Itu setelah ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah S2 di University of Leeds, mengambil konsentrasi Communication and Media.
”Saya sejak kecil sudah bercita-cita sekolah di Inggris, suka juga beli alat tulis atau buku yang bergambar bangunan Inggris dan Eropa,” ungkapnya.
Dena, sapaan akrabnya, memulai pendidikannya di SD Plus Darul Ulum Jombang lulus tahun 2008, ia kemudian melanjutkan ke SMPN 3 Peterongan lulus 2014, setelah itu ke MAN 1 Kota Malang dan lulus tahun 2017.
Setelah itu, ia lanjut ke Universitas Brawijaya Malang, jurusan Ilmu Komunikasi kelas internasional, hingga 2022.
Ketertarikannya pada Inggris sudah ada sejak masih duduk di bangku SD.
Mulai dari koleksi alat tulis bernuansa Inggris dan Eropa, hingga mencari banyak hal tentang negara tersebut.
”Semakin dewasa, saya semakin yakin untuk melanjutkan studi di sana,” jelas gadis yang tinggal di Ponpes Darul Ulum Asrama 10 Hurun Inn Rejoso Peterongan.
Apalagi Inggris merupakan salah satu negara dengan jumlah mahasiswa internasional terbanyak di dunia dengan universitas-universitas terbaik dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu komunikasi yang ia geluti.
Ia kuliah di University of Leeds setelah mendapat beasiswa dari Kemdikbudristek program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) melalui skema Beasiswa Indonesia Maju (BIM).
”Alhamdulillah saya bisa mendaftar beasiswa tersebut berkat prestasi yang pernah saya raih ketika kuliah S1, jadi persyaratan untuk bisa mendaftar melalui skema BIM memang harus memiliki minimal 1 prestasi dalam perlombaan nasional atau internasional,” jelas putri pasangan Zaimuddin Wijaya As’ad dan Umy Hasunah tersebut.
Ia semakin bersyukur, karena jurusan dan universitas yang diinginkan masuk dalam daftar universitas yang di-support beasiswa tersdebut. Sebelum mendaftar di BPI, ia sempat mendaftar beasiswa LPDP, sayangnya tidak lolos.
”Selang dua bulan setelah daftar LPDP, saya mencoba mendaftar BPI dan alhamdulillah diterima dalam sekali coba.
Selama proses mendaftar beasiswa, saya juga sedang bekerja sebagai kepala bidang hubungan masyarakat (Humas) di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang,” ungkap wanita yang gemar membaca ini.
Menurutnya, keberhasilan yang ia dapatkan sekarang tak lepas dari support orang-orang sekitar, utamanya orang tua.
Menurut Dena, orang tuanya memiliki andil yang besar dalam keberhasilannya meraih beasiswa, selain dukungan dan doa, selama proses tersebut Dena selalu melibatkan kedua orang tuanya dalam berdiskusi.
Tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi pendidikan dan nilai-nilai keislaman, membuat Dena memiliki semangat dalam mendukung dan berpartisipasi aktif di dalamnya.
Motivasinya untuk kuliah di luar negeri salah satunya untuk membuktikan jika santri juga bisa bersaing secara global, memiliki kapasitas serta value yang cukup untuk berpartisipasi di kancah internasional.
”Saya ingin mengajak santri-santri yang lain agar tidak merasa minder atau insecure dengan kemampuan mereka, serta mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki agar bermanfaat di masyarakat,” jelasnya.
Selain niat yang kuat, kamampuan berbahasa Inggris juga menjadi bekal utama untuk kuliah di Inggris, biasanya dibuktikan dengan sertifikat tertentu, seperti IELTS, TOEFL, dan lain sebagainya.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, belajar di Inggris memiliki banyak perbedaan, yang utama dalam hal bahasa dan budaya.
Tentu, kuliah di Inggris menggunakan bahasa Inggris, sedangkan dalam memanggil dosen, di Inggris tidak ada tambahan pak/bu, semua dosen dipanggil nama secara langsung.
”Mereka justru kurang nyaman jika ditambah Mr atau Miss, jadi dalam diskusi dengan mahasiswa lebih santai,” jelasnya.
Dalam belajar, mahasiswa juga harus aktif agar tidak tertinggal dengan teman-temannya yang lain.
Dengan cara memberikan opini, bertanya, atau menjawab diskusi yang berlangsung dalam kelas.
Baca Juga: Cerita Cahyani Ratna Sari Alumnus SMK BIM Jombang Sukses Berkarir di Jepang Sejak 2019
”Bahkan jika ada mahasiswa yang selalu diam dan tak mau bersuara, akan ditunjuk oleh dosen secara langsung untuk menyampaikan pendapatnya,” jelasnya.
Salah satu tantangan tersulit ketika belajar di luar negeri adalah perkuliahan yang padat, dan tugas yang tidak sedikit.
Kadang hal tersebut membuatnya stress jika tidak dikelola dengan baik.
”Jarak yang jauh dari keluarga membuat saya merasa homesick atau rindu dengan suasana di rumah dan keluarga saya,” jelasnya.
Kuliah di luar negeri, dalam satu kelas terdapat 20-100 mahasiswa dari berbagai ras, suku, budaya dan negara.
Ia juga sering bertukar kado dan sharing tentang budaya masing-masing negara dengan temannya, hingga berkunjung langsung ke beberapa negara di Eropa seperti Swiss, Austria, Belanda, Jerman, Belgia dan Belanda.
”Saya juga suka mengunjungi berbagai tempat bersejarah di Inggris,” ungkap Dena.
Sebagai warga baru di Inggris, Dena juga mengalami sejumlah culture shock.
Salah satunya kebiasaan masyarakat lokal Inggris yang suka berjalan kaki, bahkan sempat terkejut ketika mendengar temannya berjalan kaki hingga hampir satu jam untuk sampai ke kampus setiap hari. Juga perbedaan cuaca yang cukup ekstrem.
Di Inggris dalam sehari perubahan suhu dan cuaca bisa berubah dengan sangat cepat.
Misalnya pagi cerah, siang hujan deras, sore berangin, dan malam gerimis.
”Hal ini membuat saya selalu mengecek aplikasi weather forecast atau perkiraan cuaca setiap harinya,” jelasnya.
Ia juga harus menyesuaikan diri dengan kurs Inggris yang tinggi, untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, seperti makan, transport, baju yang harganya lebih mahal dibandingkan Indonesia.
Itu diantisipasi dengan mengatur keuangan dengan tepat. Salah satunya masak sendiri agar lebih hemat dan sesuai dengan lidah Indonesia.
”Setelah lulus nanti, saya ingin membantu para santri yang ingin berkuliah di luar negeri dengan memberikan bimbingan secara gratis khusus santri, agar semakin banyak santri yang bisa melanjutkan studi di luar negeri dengan beasiswa,” pungkasnya. (wen/naz/ang)