Pemerintahan

Regulasi Penentuan NJOP PBB-P2 di Jombang Dinilai Cacat Formil, Pengamat Hukum Dorong DPRD Tunda Pemungutan PBB

×

Regulasi Penentuan NJOP PBB-P2 di Jombang Dinilai Cacat Formil, Pengamat Hukum Dorong DPRD Tunda Pemungutan PBB

Sebarkan artikel ini
Achmad Sholikhin Ruslie salah satu praktisi hukum tata negara di Jombang

Desakita.co – Munculnya keluhan masyarakat atas kenaikan PBB-P2 yang tak wajar mendapat respons dari berbagai pihak.

Achmad Sholikhin Ruslie salah satu praktisi hukum tata negara di Jombang mempertanyakan regulasi penentuan nilai jual objek pajak (NJOP), yakni Perda Nomor 13/2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

”Jadi terkait kenaikan PBB, persoalan utama yang kita tanyakan adalah pijakannya, yakni regulasi penentuan NJOP.

Karena PBB itu didasarkan pada NJOP. Kriterianya apa? Tentu kalau sekadar survei tidak cukup, harus melihat fakta di lapangan,” ujar Sholikhin kepada Jawa Pos Radar Jombang, Minggu (21/1).

Sholikhin mempertanyakan metode yang digunakan untuk menentukan NJOP.

Menurutnya, adanya keluhan warga di Jombang terkait ketimpangan harga NJOP yang tidak wajar perlu jadi atensi. ”Jangan sampai harga tanahnya cuma Rp 5 juta, tapi di NJOP ditulis Rp 10 juta, sehingga dampaknya harga PBB naik tinggi,” papar dia.

Kedua, ia juga mempertanyakan terkait penyusunan Perda Nomor 13/2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai dasar penentuan NJOP yang baru disahkan 2023 lalu.

”Perda ini saya lihat disahkan tanggal 28 Desember 2023, kalau disahkan pada tanggal itu, tentu ini menjadi kado paling pahit bagi masyarakat Jombang di awal 2024. Apalagi, di satu sisi kita baru bangkit dari pandemi Covid-19. Sekarang justru ada kabar yang tidak menggemberikan terkait kenaikan PBB yang signifikan,’’ jelas dia.

Ia menilai, jika perda tersebut disahkan pada akhir 2023, patut diduga pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif.

Misalnya, tidak melakukan uji publik untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak dalam penyusunan produk hukum.

”Saya yakin tidak dilakukan uji publik, padahal itu syarat wajib tahapan pembuatan perda. Kalau dilakukan, kapan uji publiknya, di mana, dan kepada siapa dilakukan?,’’ singgungnya.

Ia juga meyakini, mulusnya pengesahan Perda Nomor 13/2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah hingga diundangkan adalah bukti DPRD Jombang tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

”DPRD harusnya juga hati-hati membahas perda seperti ini. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,’’ papar dia.

Mantan anggota DPRD Jombang ini mensinyalir perda tersebut cacat formil alias cacat karena ada kesalahan prosedur dalam penyusunan perundangannya. Untuk itu, ia mendorong DPRD menggunakan kewenangannya untuk mendorong penundaan implementasi kenaikan PBB.

”Dan itu sangat perlu sebagai bentuk pertaubatan DPRD dan pemkab atas ketidakpeduliannya terhadap kondisi ekonomi masyarakat dan kondisi sosial politik di tahun politik tahun 2024,’’ pungkasnya.

Dikonfirmasi sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang Hartono, menjelaskan kenaikan PBB-P2 berdasarkan appraisal 2022 lalu.

”Misalnya dari Mojoagung memang belum ada sosialisasi. Kalau memang tanya ya silakan ke Bapenda,” ucapnya.

Ia menyebut, penentuan pajak disesuaikan dengan banyak faktor. Nilai appraisal yang jadi dasar itu hasil survei dua tahun lalu.

Terkait temuan adanya kejanggalan pada nilai PBB, ia menyebut besar kemungkinan ada kesalahan.

”Ya mungkin ada kesalahan, pemdes silakan mengajukan perbaikan ke bapenda,” imbuhnya.

Setelah SPPT didistribusikan, Hartono mengakui ada beberapa wajib pajak yang merasa keberatan terkait besaran pajak.

Termasuk dari Kecamatan Jombang dan Kecamatan Ngoro. ”Ya, setelah menyerahkan keberatan, kami proses peninjauannya,” pungkasnya. (ang/naz/ang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *