DesaKita.co – Di Jombang masih banyak siswa SMP yang tak bisa membaca, menulis, maupun berhitung.
Mirisnya, di sekolah, tidak ada sumberdaya manusia (SDM) khusus untuk anak-anak yang mengalami lambat belajar.
’’Kalau yang tidak bisa membaca, berhitung dan menulis, bukan karena kurikulum, tapi murni karena slow learner, atau lambat belajar,’’ kata Kepala SMPN 3 Jombang, Eko Sisprihantono.
Baca Juga: Kebut Pembahasan Raperda RIPK, Bapemperda DPRD Jombang Adakan Rapat Koordinasi
Di sekolahnya, sedikitnya ada lima siswa yang mengalami hambatan yang sama. Rinciannnya, dua siswa di kelas 7, dua siswa di kelas 8 dan satu siswa di kelas 9.
Lambat belajar ini merupakan bawaan sejak jenjang sebelumnya. ’’Sejak SD memang tidak bisa membaca,’’ ucapnya.
SMPN 3 Jombang merupakan sekolah inklusi, yang memberikan pelayanan kepada tunadaksa.
Hanya saja, pihaknya tak bisa menolak siswa dengan hambatan lain. Karena secara administratif ketika penerimaan peserta didik baru (PPDB) berlangsung, seluruhnya memenuhi syarat.
’’Semuanya jalur zonasi, bukan jalur afirmasi atau disabilitas. Prinsipnya, kita tidak bisa menolak siswa dengan hambatan apapun,’’ terangnya.
Kondisi ini kemudian menyulitkan pihak sekolah. Karena dalam kegiatan belajar sehari-hari, siswa belajar dan bercampur dengan siswa lainnya.
Baca Juga: Harganya Terjangkau, Ini 5 Rekomendasi Wisata Kuliner Hits dan Instagramable di Wonosalam Jombang
Pendampingan khusus kepada siswa juga tidak bisa dilakukan secara intens. Karena tidak semua guru memiliki kemampuan menangani siswa dengan kategori slow learner.
Belajar tambahan hanya dilakukan ketika siswa mau menghadap langsung kepada guru di luar jam pelajaran.
’’Di sini ada satu guru yang memang tertarik membina siswa slow learner, dia yang selama ini memberikan pendampingan,’’ ucapnya.
Kondisi semakin sulit ketika siswa yang mengalami hambatan tersebut terpilih sebagai peserta asesmen nasional berbasis komputer (ANBK).
’’ANBK sendiri tidak boleh didampingi guru, pengawasnya saja silang,’’ jelasnya.
Eko juga kesulitan untuk mendapatkan keterangan medis terhadap siswanya yang mengalami hambatan.
Ia ingin siswanya diperiksa secara medis oleh psikolog profesional. Hasilnya nantinya dipakai untuk menjadi referensi mengambil langkah tindak lanjut.
Upaya yang pertama dilakukan dengan meminta bantuan dinas sosial. Sayangnya, upayanya belum berhasil.
Juga meminta bantuan terhadap puskesmas setempat untuk melakukan pemeriksaan secara medis.
’’Sayangnya, puskesmas juga belum memberikan solusi yang pas,’’ jelasnya.
Rencananya, dalam waktu dekat, pihaknya bakal melakukan pemeriksaan secara mandiri, dengan menggunakan dana sosial sekolah.
Kondisi yang sama juga ada di SMPN 1 Jogoroto. Satu siswa kelas 7 mengalami kelambatan belajar, sehingga tidak bisa membaca, menulis, maupun berhitung.
’’Di sekolah kami hanya satu, dia masih kelas 7,’’ kata Kepala SMPN 1 Jogoroto, M Khoiri.
Siswa yang mengalami kelambatan belajar tersebut membutuhkan pendampingan khusus.
’’Ada guru yang mendampingi khusus, diajarkan sedikit demi sedikit. Ini bukan karena kurikulum yang keliru, tapi memang bawaan,’’ ucapnya. (wen/jif)