Desakita.co – Guru merupakan profesi yang menakutkan bagi Riska Farida SAnt.
Namun, berkat ketekunannya, kini semakin tinggi jam terbangnya mengajar, ia merasakan semakin nyaman menjalani profesinya sebagai seorang pendidik.
”Dulu saya sangat tidak ingin jadi guru, saya berfikir, jadi guru itu sulit, karena anak-anak itu sulit dikendalikan,” kata Riska.
Riska lahir di Jombang pada 15 Oktober 1994. Ia mulai pendidikannya sekolah dasar di MIN 3 Jombang, kemudian melanjutkan ke SMP Umar Zahid Perak.
Riska kemudian menempuh pendidikan di SMAN Bandarkedungmulyo lulus 2012.
Oleh ibunya, Riska kemudian didorong untuk menjadi guru SD, sembari kuliah di Universitas PGRI Jombang.
Sebab, Riska sudah aktif mengajar TPQ sejak masih duduk di bangku SMA. ”Tapi saya tidak mau, merasakan jadi guru TPQ anak-anak itu sangat sulit dikendalikan,” katanya.
Riska akhirnya diterima kuliah di Univeristas Airlangga (Unair) Surabaya jalur undangan dengan beasiswa bidik misi. Ia belajar soal Antropologi, tidak tentang pendidikan, yang profesinya tidak mengarah kepada guru.
Ketekunannya dalam belajar, membuat Riska lulus lebih cepat atau hanya ditempuh 3,5 tahun.
Usai 2016 lulus, ia tak langsung pulang ke Jombang karena ia saat itu dieprcaya menjadi asisten dosen dan membantu dosennya penelitian selama 1,5 tahun.
”2017 saya pernah ikut CPNS Kemenkumham, tapi gagal,” jelasnya.
Setelah tak jadi asisten dosen lagi, Riska pulang dan bekerja sebagai panitia pemilihan kecamatan (PPK) di bawah naungan KPU Kabupaten Jombang. Bersamaan dengan itu, akhir 2018, ia mengikuti seleksi CPNS.
”Sama ibu ditanya, formasi paling besar apa, saat itu adanya guru, dan guru antropologi adanya di SMAN Jogoroto, akhirnya saya mendaftar di situ,” jelasnya.
Lulus seleksi administrasi, dari 35 pelamar yang lain, ia satu-satunya yang nilai SKD-nya memenuhi passing grade. Sehingga di seleksi kompetensi bidang (SKB) ia jadi satu-satunya peserta.
Baca Juga: Ini Kunci Sukses SMAN Jogoroto Jadi Juara Lomba SBC Enterpreneur Competition 2024
”Saya mulai penempatan bulan Mei, tapi sampai Juni masih menjadi PPK karena bertugas untuk pilpres saat itu,” jelasnya.
Dua bulan pertama, ia merasa menjadi guru sangat membosankan. Sebab,saat itu seluruh siswa masih ujian, sehingga ia belum masuk kelas untuk mengajar.
”Saya baru menemukan kenyamanan menjadi guru ketika sudah masuk kelas, berinteraksi langsung dengan siswa, menghadapi beragam karakter siswa, mood siswa, dan semua promblem kelas yang menurutnya sangat menantang,” bebernya.
Merasa belum memiliki kompetensi yang baik untuk menjadi guru, Riska mulai belajar tentang administrasi keguruan. ”Saya memang mengetahui ilmunya, tapi ilmu murni, tahu materi tapi tidak tahu sama sekali tentang administrasi keguruan,” jelasnya.
Tak berhenti untuk terus belajar dari berbagai hal, sepak terjang Riska di bidang pendidikan juga mengalami kemajuan pesat.
Baca Juga: Kejaksaan Datangi SMAN Jogoroto Jombang, Ternyata Ini Tujuannya
Di tahun pertamanya mengajar, ia lolos seleksi penulis USBN pada mata pelajaran Antropologi tahun 2019 Provinsi Jawa Timur.
Sampai saat ini ia terus belajar, mengikuti pelatihan-pelatihan, dan saat ini mengikuti pelatihan di platform merdeka mengajar dari Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Timur untuk materi pembelajaran diferensiasi.
”Itu sangat membantu saya upgrade ilmu dalam hal pembelajaran,” jelasnya.
Saat ini, Riska juga menjadi mahasiswa pendidikan profesi Guru (PPG) dalam jabatan (Daljab) yang telah dimulai sejak September lalu.
”Sekarang tinggal ujian saja, untuk guru penggerak belum ikut karena saya belum lima tahun mengajar, mungkin kalau ada kesempatan nanti ikut,” jelasnya.
Riska juga mendapatkan tugas tambahan sebagai tim kurikulum di bawah komando wakil kepala kurikulum, sebagai koordinator P5 SMAN Jogoroto kelas 10.
Di sana ia dituntut harus memiliki ide-ide segar agar siswa dapat menikmati pembelajaran berbasis P5. Seperti yang dilakukannya minggu ini, meggelar festival film pendek.
Yang materinya tentang menghargai diri, menjaga mental health, kampanye antiperundungan. ”Film pendek bakal ditayangkan di Aula SMAN Jogoroto, yang disulap menjadi mini bioskop. Film bisa disaksikan seluruh siswa termasuk kakak kelasnya yaitu kelas 11 dan kelas 12,” imbuhnya.
Sebagai guru milenial, Riska menjadi sasaran curhat bagi siswanya. Utamanya kelas yang ia pegang. Menurutnya, mendidik siswa Gen Z tidak bisa dengan membentak atau kekerasan.
Namun, bukan berarti ia bersikap lembek. ”Ada saatnya kita tegas, ada saatnya kita lemah lembut,” jelasnya. (wen/naz)