Lifestyle

Generasi Alpha dan Teknologi: Akar Degradasi Moral?

×

Generasi Alpha dan Teknologi: Akar Degradasi Moral?

Sebarkan artikel ini
Sumber foto https://www.mental-austria.com/blog/generation-alpha-die-gestalter-von-morgen-und-ihre-praegung-der-zukunft-unternehmensberatung-michael-deutschmann-businesstraining-vision-tirol/

Oleh: Maharani Kristanto Putri*)

Desakita.co – Perkembangan teknologi informasi memiliki peranan penting dalam transformasi masyarakat modern yang berlangsung dengan sangat cepat dan pesat.

Hal ini menjadi kekuatan dominan dari setiap bagian kehidupan manusia. Perkembangan teknologi memunculkan hadirnya internet dan membuka pintu revolusi global yang kemudian menciptakan kemudahan akses pasar global. Hadirnya internet bukan hanya memudahkan kehidupan manusia, tetapi juga mengubah cara manusia berpikir dan bekerja.

Tidak dapat dipungkiri, di berbagai sektor, teknologi membawa transformasi digital yang luar biasa. Puncaknya, implementasi teknologi mengambil peran yang sangat besar pada kehidupan manusia.

Teknologi saat ini selalu bersinggungan dengan generasi yang saat ini menduduki usia termuda, yakni Generasi Alpha.

Istilah Gen Alpha pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005 oleh Mark McCrindle, seorang peneliti dan konsultan generasi di Australia.

Generasi Alpha merupakan generasi pertama yang hidup berdampingan dengan gadget sejak mereka dilahirkan. Mereka sudah akrab dengan perangkat elektronik seperti smartphone, tablet, dan komputer sejak dini, karena teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka.

Muncul setelah Gen Z, Generasi Alpha yang lahir antara tahun 2010 sampai 2024, adalah generasi yang lahir di era digital.

Generasi ini kerap disebut sebagai screenager, karena hubungannya yang sangat erat dengan teknologi. Generasi Z dan Alpha memang sama-sama akrab dengan teknologi, tetapi Generasi Alpha cenderung lebih terpapar teknologi dengan intensitas yang lebih tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Generasi Alpha dan generasi setelah Gen Alpha adalah generasi yang akan menghadapi dunia yang semakin terhubung secara digital dan terus berubah dengan cepat.

Dengan jumlah mencapai 2 miliar dan terus meningkat, Gen Alpha (lahir antara 2010-2024) diperkirakan akan menjadi generasi terbesar dalam sejarah. Saat ini, sangat tidak mengherankan jika kita melihat bahwa Generasi Alpha jauh lebih modern, lihai, dan canggih dalam menggunakan gadget atau teknologi dibandingkan dengan generasi terdahulunya.

Hal ini tentu menimbulkan pandangan-pandangan yang berbeda. Di satu sisi, Generasi Alpha tentu tidak akan pernah ketinggalan jaman yang membuat mereka akan mudah hidup ditengan teknologi yang terus berkembang. Generasi Alpha berkembang di dalam lingkungan yang mana teknologi digital telah menjadi elemen yang tak terpisahkan dari rutinitas harian mereka.

Di sisi lain, sebagai generasi termuda dengan usia yang belum matang, tentu Generasi Alpha belum matang secara psikologis dan belum bisa memilih mana yang baik dan tidak.

Peneliti isu sosial, McCrindle, memprediksi bahwa Generasi Alpha tidak lepas dari gadget, kurang bersosialisasi, kurang daya kreativitas dan bersikap individualis.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini membuat berbagai jenis game semakin banyak bermunculan.

Selain sebagai sarana untuk bersantai, aplikasi game kini juga telah berkembang menjadi industri bisnis yang sangat besar. Game memiliki peranan penting dalam perkembangan otak manusia. Adanya teknologi membuat perkembangan game sampai Generasi Alpha semakin berkembang.

Salah satunya game yang popular adalah Roblox. Roblox adalah multiplayer gaming experience yang ditujukan untuk penggunanya.

Pada tahun 2023, Terdapat lebih dari 150 juta pengguna aktif bulanan pada aplikasi ini. Menggunakan fitur dan alat yang disediakan oleh platform ini, pemain dapat merancang game mereka sendiri, membuat avatar kustom, dan membangun dunia virtual sesuai dengan imajinasi mereka.

Penggunanya juga dapat menggunakan fitur virtual untuk berkomunikasi tanpa mengenal. Oleh karenanya, Roblox telah berkembang menjadi lebih dari sekadar platform permainan, melainkan menjadi ruang ekspresif bagi Generasi Alpha. Game Roblox menawarkan berbagai jenis permainan dari banyak developer.

Sebagian besar game tersebut dapat diakses secara gratis, memungkinkan pengguna untuk bermain sesuka hati.

Konsep ini membuat orang semakin betah dengan Roblox, karena pengguna tidak perlu khawatir merasa bosan dengan pilihan permainan yang terbatas.

Sayangnya, game interaktif ini berpotensi membahayakan penggunanya karena ruang lingkupnya yang tak terbatas. Melakukan kegiatan interaktif dengan orang asing berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan, seperti hadirnya predator anak yang muncul melalui pendekatan terhadap Generasi Alpha yang menggunakan Roblox.

Selain itu, avatar dengan nuansa seksual juga menjadi potensi bahaya untuk penggunanya. Roblox juga merupakan cikal bakal munculnya slang ‘Skibidi Toilet’di Indonesia. Slang ini pertama kali dipopulerkan di aplikasi YouTube Short, yag kemudian diimplementasikan oleh developer menjadi sebuah game di Roblox.

Skibidi Toilet memiliki alur cerita yang sederhana, dengan sedikit sekali percakapan antar karakternya. Karakter utamanya memiliki penampilan yang unik, yaitu berupa manusia dengan kepala di dalam toilet, atau dikenal sebagai manusia toilet. Desain yang aneh ini menjadi salah satu daya tarik untuk anak-anak. 

Karena popularitasnya, banyak anak yang menirukan animasi tersebut, sehingga banyak yang menyebut fenomena ini sebagai sindrom Skibidi Toilet.

Beberapa dari mereka bahkan masuk ke dalam tong sampah, kardus, atau tong untuk meniru gaya animasi itu.

Ketika anak-anak meniru apa yang mereka lihat di media, hal itu bisa berdampak pada aspek emosional mereka. Mereka mungkin merasa terhubung dengan karakter atau terpengaruh oleh situasi yang ditampilkan dalam program tersebut. Ini bisa menyebabkan mereka mengalami berbagai emosi, baik positif maupun negatif, tergantung pada konteks yang mereka amati.

Dalam video animasi Skibidi Toilet, setiap karakter terlibat dalam cerita yang saling berperang.

Karakter manusia toilet akan kalah atau lumpuh jika lawannya berhasil menarik tuas flush, yang menyebabkan kepalanya tersedot.

Di Indonesia, istilah “Skibidi Toilet Syndrome” muncul untuk menggambarkan masalah perilaku yang dialami anak-anak setelah menonton Skibidi Toilet.

Misalnya, anak-anak bisa menjadi marah saat dilarang menonton atau bahkan meniru perilaku yang ditampilkan dalam animasi tersebut.

Roblox juga memungkinkan anak untuk mengenal ucapan kasar dan tak senonoh jika tak didampingi orang tua.  Adanya unsur-unsur kekerasan menyebabkan ketakutan orang tua terhadap dampak buruk yang akan terjadi di anaknya. Kekhawatiran para orang tua ini tentu bukan tanpa sebab.

Tak hanya itu, karena Generasi Alpha lebih cenderung melakukan interaksi melalui games, dibandingkan dengan komunikasi langsung, membuat mereka tampak kurang sopan atau kurang peka terhadap norma-norma sosial, termasuk cara menghormati orang yang lebih tua.

Penggunaan media sosial tanpa pengetahuan yang cukup dapat membuat Generasi Alpha terjerumus dalam perilaku tidak sopan, tanpa menyadari dampak emosional yang ditimbulkan pada orang lain. Selain itu, ketidakmampuan mereka untuk menyaring informasi yang beredar di internet membuat mereka rentan terpapar berbagai jenis konten digital yang tidak sesuai dengan norma.

Hal ini menjadi tantangan serius dalam membentuk karakter dan moral mereka di era digital ini.

Krisis moral yang dihadapi oleh Generasi Alpha berperan signifikan dalam penurunan tingkat empati di kalangan mereka.

Penggunaan perangkat digital yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan individu untuk merasakan dan memahami emosi orang lain, serta mengakibatkan berkurangnya perhatian terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, pemahaman mengenai nilai-nilai moral, etika kesopanan, dan tanggung jawab—yang merupakan elemen fundamental dalam kehidupan sosial—juga mengalami penurunan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait masa depan interaksi sosial dan moralitas di antara generasi ini.

Dengan demikian, meski Generasi Alpha disinyalir lebih melek teknologi, tak ada salahnya orang tua tetap memantau dan mengontrol akses anak-anak terhadap media. Orang tua harus berperan aktif dalam memberikan bimbingan dan batasan kepada anaknya ketika menggunakan gadget.

Menciptakan waktu bersama yang berkualitas adalah salah satu cara penting untuk mendidik Gen Alpha yang harus diterapkan oleh orang tua. Aktivitas ini krusial untuk menjaga ikatan emosional, mendukung perkembangan mereka, serta mengajarkan nilai-nilai penting dalam kehidupan. (*)

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *