Desakita.co – Impian Amir Machmud untuk bisa kuliah di luar negeri terwujud.
Setelah berhasil menuntaskan pendidikan S1 dan S2 di NCU (National Central University) Taiwan, warga Dusun Ngenden, Desa Rejoslamet, Kecamatan Mojowarno saat ini tengah berjuang menuntaskan studi S3 di kampus yang sama, yakni NCU, Taiwan.
”Ya memang bisa kuliah di luar negeri adalah cita-cita saya sejak dulu,” ungkap pria yang hobi mendaki gunung ini.
Amir mulai pendidikan dasarnya di SDN 1 Rejoslamet, lulus tahun 2007.
Ia melanjutkan ke SMPN 1 Mojoagung dan berlanjut ke SMAN Mojoagung lulus tahun 2013.
Setelah tamat SMA, Amir memutuskan untuk kuliah di IPB (Institut Pertanian Bogor) jurusan Teknik Mesin dan Biosistem lulus 2018.
Setahun kemudian, Amir ke Taiwan untuk kuliah di NCU dengan jurusan Teknik Lingkungan dan lulus pada 2021.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan jenjang S2 di universitas yang sama dan jurusan yang sama.
Amir merupakan mahasiswa yang beruntung.
Sebab, ia mendapatkan beasiswa kampus atas kegigihannya.
Beasiswa itu ia dapatkan setelah ia mengirimkan proposal kepada profesor yang diidolakannya.
Jika profesor setuju atas proposal tersebut, Amir mendapatkan arahan dan opsi beasiswa yang ia dapatkan.
Salah satu perbedaan paling mencolok dari perkuliahan yang ia jalani di luar negeri hanya waktu.
Sebab, di Taiwan, pendidikan S3 bisa tuntas minimal empat tahun.
Sedangkan di Indonesia, hanya butuh waktu tiga tahun saja.
”Tidak ada perbedaan yang spesifik dengan sistem pendidikan di Indonesia menurut saya,” jelasnya.
Menurutnya, bekal kuliah di luar negeri selain kemampuan berbahasa asing, juga mental yang tangguh.
Sebab, kuliah di luar negeri tinggal jauh dari keluarga, teman-teman baru dari berbagai negara, hingga adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. ”Bagi saya yang penting itu mental,” ungkapnya.
Taiwan selalu membuat Amir kagum, bukan masyarakat yang mayoritas muslim, bahkan banyak yang tidak memiliki kepercayaan, tapi perilakunya sangat baik.
Seperti perilaku dalam menjaga alam, tidak merusak lingkungan, tidak melakukan perbuatan tercela seperti mencuri.
”Kadang saya berfikir, kenapa orang yang notabenenya tidak memiliki kepercayaan jauh lebih memiliki tabiat Islam, dengan menjaga alam, tidak merusak lingkungan, tidak nyolong, dan lain sebagainya,” kata pria kelahiran 9 Juli 1995 tersebut.
Kebiasaan positif warga Taiwan terkait kebersihannya selalu membuatnya kagum.
Ia ingin, masyarakat Indonesia lebih sadar terkait pentingnya menjaga kebersihan, utamanya dalam mengelola sampah.
”Baiknya sampah dipilah agar petugas kebersihan lebih mudah mengambil sampah sesuai dengan jenisnya,” ungkapnya.
Sampah kering dapat dijual kembali, atau menjadi bahan baku industri pembuatan plastik.
Baca Juga: Cerita Cahyani Ratna Sari Alumnus SMK BIM Jombang Sukses Berkarir di Jepang Sejak 2019
Hal itu tentu akan mengurangi dampak buruk terhadap banyaknya sampah yang menumpuk.
Menurutnya, pembelajaran pengelolaan sampah harus dikenalkan sejak masih duduk di bangku sekolah.
”Di pondok pesantren, di sekolah-sekolah, rasanya penting untuk memberikan pengajaran tentang mengelola sampah,” jelasnya.
Meski begitu, masih banyak juga warga lokal yang beragama muslim.
Bahkan di bulan Ramadan kemarin, ia masih merasakan kehangatan Ramadan di Taiwan.
Jamuan yang beragam di masjid-masjid yang kelola warga Taiwan. Tarawih juga sama di Indonesia yaitu mayoritas 23 rakaat, tapi sebagian juga ada yang 11 rakaat.
”Adaptasi yang perlu waktu panjang adalah tentang makanan dan budaya, awalnya terpaksa lama-lama akan menjadi biasa,” singkat peraih prestasi Best Paper Award APSPT 12 2021 tersebut. (wen/naz/ang)