Desakita.co – Setelah 15 tahun meninggalkan Mesir, Achmad Roziqi memiliki kesempatan untuk kembali, pada pelatihan penguatan fatwa selama satu bulan, di Darul Iftah, Mesir.
Seperti reuni kembali, mengobati rindu dengan masyarakat Mesir yang ramah.
”Saya dapat kesempatan mengikuti pelatihan penguatan fatwa selama satu bulan selama Februari-Maret,” kata warga Dusun Kalijaring, Desa Kalikejambon, Kecamatan Tembelang ini.
Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng itu dulu adalah mahasiswa Mesir, lulus S1 di Universitas Al Azhar jurusan Syariah Islamiyah tahun 2008.
Ia sempat melanjutkan S2 di Kairo juga, namun ia memutuskan berhenti 2009 karena S2 di Mesir cukup lama, antara 6-7 tahun. ”Jadi, saya memutuskan untuk pulang dan tidak melanjutkannya,” kata suami Faurina Amilush Sholihati ini.
Setelah pulang, ia melanjutkan studi S2 di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang lulus tahun 2012, dan sekarang sedang menjalani program doktor di UINSA Surabaya.
Tahun ini ia kembali ke Mesir, mengikuti kegiatan pelatihan penguatan fatwa selama satu bulan di Darul Iftah Mesir, dengan beasiswa LPDP yang bekerja sama dengan Kemenag.
”Dalam hal ini menggunakan dana abadi pesantren, jadi harus dapat rekomendasi pesantren,” jelasnya.
Untuk dapat beasiswa itu, menurutnya tidak mudah, sebab ia harus bersaing se nasional.
Total peserta yang ikut sekitar 400 dan hanya diambil 50 peserta terbaik.
Tahap pertama yang dilakukan ialah seleksi administrasi, termasuk membuat esai terkait motivasinya mengambil kesempatan itu. Setelah dinyatakan lulus, ia menjalani tes wawancara.
”Alhamdulillah lulus lagi sampai pemberangkatan bulan Februari kemarin,” kata pria yang hobi traveling dan membaca ini.
Mengetahui jika program beasiswa nongelar kedua ini dilaksanakan di Mesir, ia seperti mendapatkan panggilan kembali.
Sebab, ia dulu lama menempuh pendidikan di Mesir.
”Ya seperti reuni dengan teman-teman lama,” jelasnya.
Menurutnya, Mesir adalah negara dengan pendidikan yang bagus dan mumpuni.
Ia mulai tergugah untuk kuliah di Mesir setelah ia lulus dari MI Perwanida Mojowarno tahun 1999, dan melanjutkan ke MASS Tsanawiyah Tebuireng lulus tahun 2001, dan MASS Aliyah Tebuireng tahun 2004.
Di jenjang MASS itu, ia ditempa pendidikan Bahasa Arab.
Pembelajarannya full menggunakan bahasa Arab, banyak juga guru lulusan Timur Tengah, sehingga membuka cakrawala untuk mengikuti jejak sang guru dengan kuliah ke Mesir.
”Mesir saya pilih juga karena sanad keilmuan agama di Indonesia juga banyak di Al Azhar di pesantren juga banyak mengkaji kitab ulama Al Azhar,” ungkapnya.
Pada 2004, ia mendaftar ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir.
Ia dengan mudah diterima karena menempuh jalur mandiri.
Setelah menjalani pendidikan, ia baru mengajukan beasiswa. ”Enaknya kuliah di Mesir, kalau yang diambil adalah jurusan keagamaan, pasti gratis kuliahnya baik itu yang dapat beasiswa sejak awal maupun yang tidak,” jelasnya.
Tapi kalau jurusan umum seperti teknik, kedokteran, tidak gratis, kecuali bagi yang dapat beasiswa. ”Kalau dibandingkan mungkin lebih murah biaya kuliah di Sana daripada di Indonesia,” jelasnya.
Untuk kuliah di Mesir, ayah dari Muhammad Sakhi, Muhammad Wafi, Sovwa Aqila, dan Sovwa Aliya ini mempersiapkan diri sejak dini.
Salah satu bekal utama adalah kemampuan berbahasa Arab. Sebab, seluruh perkuliahan menggunakan bahasa Arab. Buku yang digunakan bahasa Arab.
”Jadi kemampuan bahasa Arab adalah harga mati,” jelas pria yang lahir 5 September 1985 itu.
Kemudian menabung hafalan Alquran sejak sekarang. Minimal dua juz saja sudah bisa dipakai untuk menempuh pendidikan di Mesir. Ujian Alquran yang dilakukan tidak hanya ujian lisan, tapi juga ujian tulis.
”Jadi itu bisa dipelajari sejak sekarang, latihan nulis Alquran, karena nanti ada ujian tulis seperti sambung ayat gitu,” katanya.
Sistem pendidikan di Indonesia dan Mesir juga berbeda.
Tidak ada absensi kehadiran, sehingga datang ke perkuliahan atau ngaji adalah panggilan jiwa.
Penilaian yang dilakukan dosen murni nilai akademik. ”Hanya benar atau salah, tidak ada kehadiran, keakraban dengan dosen, kesopanan, itu tidak berlaku,” kata Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Guru MASS Aliyah Tebuireng.
Yang membuatnya rindu dengan Mesir salah satunya adalah lingkungan tempat tinggal, warga lokal yang ramah utamanya kepada warga Indonesia. Sebab, saat ini sudah ada 12-13 ribu warga Indonesia yang berada di Mesir.
”Bagi saya, banyaknya warga Indonesia, ramahnya warga Mesir, memberikan rasa nyaman bagi kita, kalau bisa dikatakan, mesir adalah negeri kedua bagi saya,” jelas putra pasangan Asmadji dan Mutamimmah ini.
Merasakan empat musim, yaitu musim dingin, musim semi, musim panas, dan musim gugur menjadi pengalaman yang membuatnya rindu dengan Mesir.
”Kalau di Kairo tidak ada salju, hanya dingin saja, bisa sampai 2 derajat celcius,” jelasnya.
Dari sisi makanan, juga banyak ditemukan makanan Indonesia seperti mie, makaroni, nasi, dan ayam bakar.
”Mungkin yang bikin adaptasi cukup lama adalah gandum, awal-awal ya agak sulit, tapi setelah lama meninggalkan Mesir jadi rindu,” pungkasnya. (wen/naz/ang)