Desakita.co – Dalam struktur birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Nusantara (1800 – 1942), dimulai dari yang berkedudukan paling tinggi, dalam kendali Kerajaan Belanda.
Di bawahnya ada Menteri Negara Koloni/Jajahan yang membawahi Gubernur Jenderal di Batavia.
Kemudian ada Residen (R) yang mengepalai sebuah karesidenan.
Wilayah karesidenan terdiri dari beberapa afdeling yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen (AR) yang tugasnya sebagai wakil residen untuk mengawasi wilayah afdeling.
Sejajar dengan AR, ada jabatan walikota (burgemeester) untuk wilayah gemeente (kota).
Di bawahnya ada jabatan Controleur (kontroler) yang mengawasi daerah onderafdeling.
Semua pejabat dari segala tingkatan itu hanya boleh diduduki/dijabat oleh orang Belanda/Eropa.
Menurut Tjahjana Indra Kusuma pemerhati sejarah dan cagar budaya di Jombang, Bumiputra meski bangsawan/priyayi sekalipun, tidak bisa.
Warga pribumi hanya boleh menduduki jabatan setara pada struktural atau birokrasi yang berorientasi pada sumber daya manusia di sebuah wilayah.
Yaitu mulai jabatan Regent (bupati) dan seterusnya ke bawah.
Struktur selanjutnya ada Regent (Rt) alias bupati yang mengepalai sebuah regentschap (kabupaten).
Wilayah kabupaten terdiri dari beberapa district (distrik) atau setingkat kawedanan yang dikepalai oleh wedono.
“Sebuah distrik terdiri dari beberapa wilayah onderdistrict atau setara kecamatan yang membawahi desa-desa,” katanya.
Lazimnya pejabat yang mengepalai distrik dan onderdistrik disebut kanjeng wedono dan asisten wedono/camat.
Sedangkan pemimpin terbawah di desa disebut lurah. Jabatan-jabatan itu semuanya boleh diduduki oleh warga pribumi yang umumnya dari keluarga bangsawan.
Di Jawa Timur (sebagai sebuah provinsi, lanjutnya, baru resmi dibentuk 1 Juli 1928, dan sah berlaku 1 Januari 1929) terdiri dari karesidenan Bojonegoro, Madiun, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Madura, dan Besuki.
Untuk karesidenan Surabaya terdiri dari Regentschap Surabaya, Gemeente Surabaya (mulai 1906), Regentschap Sidoarjo, Regentschap Mojokerto, Gemeente Mojokerto (mulai 1908), dan Regentschap Jombang (mulai 1910).
Pasca pendudukan Inggris, pada 1819 wilayah administratif afdeling Jombang masuk dalam bagian Regentschap Mojokerto.
Afdeling Mojokerto mempunyai lima distrik, sedangkan afdeling Jombang terdiri dari dua distrik. Yaitu distrik Mojorejo yang wilayahnya meliputi Jombang kota, Pandanwangi, Kedungpinggiran (sekarang menjadi Tembelang), Gudo, Ngoro, dan Perak.
“Kemudian distrik Mojoagung meliputi wilayah Mojoagung, Jogoloyo, Trowulan (selanjutnya masuk Mojokerto), Wuluh (Kesamben), Peterongan, Mojowarno, dan Wonosalam,” bebernya.
Pada 1897, dibentuk distrik ketiga di utara Brantas bernama distrik Mojodadi. Wilayahnya meliputi Ploso, Bunder (Plandaan), Kabuh, Pagendingan (Kudu) dan Keboan (Ngusikan).
Empat tahun kemudian, mulai dilakukan persiapan pemecahan wilayah Jombang mandiri terpisah dari Mojokerto.
Tahap pertama yang dipisah adalah struktur Asisten Residen (AR)-nya. Tanggal 20 Maret 1881, keluar surat keputusan/besluit Nomor 90 tentang pemisahan AR di wilayah afdeling Mojokerto. Masing-masing menjadi AR Mojokerto dan AR Jombang.
Diikuti pula dengan pengisian jabatan ahli hukum di pengadilan rakyat (landraad) Mojokerto dan Jombang.
Sejak 1881 hingga 1910, wilayah Jombang adalah ‘zelfstandig afdeling’ atau wilayah administrasi mandiri yang terdiri dari beberapa distrik sebagai bagian dari Regentschap Mojokerto.
Dipimpin seorang patih yang bertanggungjawab kepada Bupati Mojokerto.
Semakin hari, kondisi sosial ekonomi afdeling Jombang semakin berkembang dengan segala permasalahannya.
Seiring bertambahnya jumlah pabrik gula, pabrik es, pabrik penggilingan padi dan ketela yang beroperasi.
Laju industrialisasi yang maju, diikuti pula meningkatnya angka kriminalitas tinggi.
Mulai dari kejahatan jalanan seperti pencurian dan perampokan, pembakaran lahan tebu, hingga pemalsuan uang dan produksi arak ilegal.
Setelah berjalan enam tahun, keluarlah besluit nomor 172 tertanggal 20 September 1887 tentang batas-batas wilayah ibukota afdeling Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, Sedayu dan Lamongan.
“Penentuan ibukota afdeling Jombang meliputi batas utara adalah sungai van Hengel (Panengel) sampai Sidobayan di timur dan Kauman Lor di barat,” jelas dia.
Batas barat meliputi jembatan embong miring Denanyar dan jalan Plosogerang.
Lalu batas selatan meliputi desa Pandanwangi ke timur sampai Geneng, Parimono dan jalan raya Jombang-Blimbing. Batas timur meliputi desa Kaliwungu ke utara sampai saluran air di Kwijenan dan paling utara di Sidobayan.
Hal ini yang memaksa pemerintah kolonial memisahkan Jombang dari Mojokerto demi menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Pada 21 Oktober 1910 keluarlah Besluit nomor 553 yang menjadi dasar berdirinya Regentschap Jombang terpisah dari Regentschap Mojokerto,” tambahnya.
Ditunjuklah RAA Soeroadiningrat yang sebelumnya sudah berpengalaman sebagai pegawai Administrasi Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur) dan menduduki berbagai jabatan di Jombang sejak 1884, sebagai Bupati Jombang pertama.
Tepat hari Kamis, 1 Desember 1910, dilakukan upacara resmi pelantikan RAA Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang yang pertama.
Bupati dilantik oleh Residen Surabaya. Dihadiri Bupati Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan dan Gresik. Ada juga Perwira Tionghoa, pejabat pemerintahan dan pegawai pabrik gula di Jombang dan sekitarnya.
“Bupati Jombang diambil sumpahnya dan dilantik di kediaman AR Jombang, sebab pendopo kabupaten belum ada dan akan dibangun,” pungkas dia. (ang/bin/ang)