DesaKita.co – Tempe merupakan makanan khas Indonesia.
Terbuat dari kacang kedelai dengan campuran bahan lain yang sudah difermentasi.
Di wilayah utara Sungai Brantas, Jombang, Jawa Timur memiliki tempe khas.
Berbentuk tipis dengan ketebalan 2 sentimeter.
Lokasinya di Dusun Jatirowo, Desa Jatigedong, Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Ada lebih dari 10 warga yang setia menekuni usaha turun temurun ini.
Tak sedikit warga Dusun Jatirowo yang memproduksi tempe.
Mereka rata-rata memproduksi tempe dengan ukuran tipis. Salah satunya Suliyanto yang membuat tempe sejak 1994 silam.
”Ini meneruskan usaha orang tua, jadi saya generasi kedua,” katanya.
Di samping rumahnya ada ruangan khusus yang dijadikan tempat produksi.
Mulai dari memproses seluruh bahan hingga penjemuran kedelai.
Ada empat lembaran potongan bambu berukuran 5×3 meter.
Masing-masing ditutup plastik panjang dan di atasnya ditumpuki karung goni.
”Ini tempe yang sudah siap dipotong,” imbuh Suliyanto.
Dikatakan, proses produksi tempe miliknya sama persis yang dilakukan warga lain.
Bahan utamanya kedelai impor, beras, dan ragi.
”Kedelai direbus sampai matang sekitar 2 jam, setelah itu direndam satu hari baru digiling dan dibersihkan,” ujar lelaki yang kini berusia 56 tahun ini.
Sementara untuk beras, setelah dicuci dimasak setengah matang, kemudian dibersihkan dan dicampur ragi.
”Baru kemudian dijadikan satu dengan kedelai,” tutur dia.
Kedelai itu kemudian diratakan di atas lembaran bambu yang sudah dirangkai sedemikian rupa menyerupai gedek guling.
Setelah rata, kedelai ditutup plastik dan di atasnya ditutup lagi dengan karung goni.
”Lalu dibiarkan atau istilahnya dijemur selama dua hari dua malam, baru bisa dipotongi,” lanjut Suliyanto.
Selama produksi, dia biasanya dibantu Sulikah yang juga kakak kandungnya.
Dalam sehari, bisa memproduksi 40 kilogram kedelai dan 1,5 kilogram beras.
”Pakai kedelai impor, sudah nggak pakai lokal lagi,” tutur dia.
Menurutnya, yang membedakan tempe buatan warga dengan yang lain karena ukurannya yang tipis.
Biasanya ketebalan tempe bisa mencapai 7 sentimeter.
”Ketebalannya hanya 2 sentimeter, dibanding tempe Jombang selatan, berbeda karena lebih tebal, potongan kotaknya juga lebih besar. Di sini kecil-kecil,” lanjut dia.
Karena tipis, biasanya tempe dijual dengan ditumpuk jadi tiga lapis. Lalu dibungkus dengan daun jati.
”Harganya satu bungkus ini Rp 2.000 isi tiga, karena ditumpuk tadi,” ujarnya. Untuk pemasaran, tempe tipis dijual keliling kampung. Tak jarang juga beredar di Pasar Ploso.
Dia mengaku, sejak dulu sampai sekarang, ketebalan tempe tak berubah. Selalu dibikin tipis.
”Kurang tahu kenapa bapak atau mbah-mbah dulu buatnya tipis-tipis, mungkin biar irit,” katanya sembari tertawa.
Komposisi utama berupa kedelai menurut Suliyanto kini berubah.
Dulu mengandalkan kedelai lokal. Namun memasuki 2000-an beralih ke kedelai impor.
”Pertama karena kedelai lokal itu tidak bisa bertahan lama, sebentar saja warnanya berubah seperti pucat. Kedua, cepat bau, jadinya seperti tempe busuk, mungkin mudah panas sehingga kualitasnya turun,” pungkas Suliyanto. (fid)