Asal-Usul

Unik! Warga Desa di Pedalaman Jombang Ini Tak Pakai Bahasa Jawa untuk Bicara Sehari-hari

×

Unik! Warga Desa di Pedalaman Jombang Ini Tak Pakai Bahasa Jawa untuk Bicara Sehari-hari

Sebarkan artikel ini

DesaKita.co – Sebuah kampung di Jombang ini memiliki ciri yang sangat unik. Tak seperti kebanyakan desa lainnya di Jombang yang rata-rata bercakap menggunakan bahasa Jawa, warga di kampung ini justru menggunakan bahasa Madura dalam percakapannya setiap hari.

Nama desa ini adalah Desa Manduro. Lokasi desa Manduro, berada di wilayah terpencil di Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang.

Untuk masuk ke desa ini, anda bisa menempuh beberapa jalur berbeda. Salah satu yang paling umum, adalah melintasi kompleks SAT Radar 222 Ploso di Kabuh.

Saat masuk kampung ini, suasana asri khas perdesaan akan langsung terlihat. Kontur kampung ini memang berbukit dengan jalan naik turun. Maklum saja, lokasinya memang berada di lereng perbukitan kapur.

Ya, masyararakat di desa ini memang tak terlalu terbiasa menggunakan bahasa Jawa laiknya mayoritas warga di Kabupaten Jombang. Rata-rata warga di sini, memang bercakap menggunakan bahasa Madura.

Penyebabnya, mereka meyakini nenek moyangnya memang adalah orang Madura yang kemudian berpindah ke Jombang. 

Dikutip dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Jatim, asal mula terbentuknya Desa Manduro menurut tradisi oral penduduk setempat adalah dari adanya dua orang pelarian Madura yang kemudian menetap di daerah perbukitan tersebut yang masih berupa hutan.

Kemudian kedua pelarian tersebut beranak pinak hingga daerah tersebut berkembang sebagaimana kondisi saat ini. Namun siapakah kedua pelarian tersebut dan kapan keberadaan pelarian tersebut di Desa Manduro tidak didapatkan informasi yang jelas.

Menurut Warito, Mantan Sekdes Manduro, berdasarkan informasi yang di dapatkan dari ‘Mbah Lurah Sepuh’, berpendapat bahwa kedua pelarian tersebut adalah dari laskar Trunajaya yang kalah perang, dan karena kalah perang malu pulang ke Madura.

Akhirnya para pelarian tersebut menetap diperbukitan kapur, karena perbukitan kapur aman untuk tempat pelarian.

Sementara menurut Nasrul illahi, salah satu penelusur sejarah dan kebudayaan di Jombang berpendapat, kehadiran orang Madura di Manduro kemungkinan terjadi dalam beberapa gelombang.

Gelombang pertama kemungkinannya saat awal mula berdirinya Majapahit. Gelombang selanjutnya saat Pangeran Purbaya membantu Amangkurat II melawan Belanda, dan gelombang-gelombang berikutnya tidak banyak diketahui lagi.

Pendapat lain, juga datang dari Imam Ghozali AR, budayawan Jombang yang berpendapat ada dua versi yang berkembang di tengah masyarakat Manduro tentang asal usulnya.

Kedua versi tersebut meliputi: pertama, laskar Trunajaya sebagai nenek moyangnya, dan kedua, Pangeran Arya Wiraraja nenek moyangnya.

Hal menarik lainnya tentang keberadaan orang-orang Madura di Desa Manduro dapat pula dikaitkan dengan sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit. Hal itupun diakui dan diyakini banyak warga Manduro.

Di Desa Manduro tepatnya di Dusun Gesing bagian Utara masih berupa hutan, terdapat bekas bangunan-bangunan yang hanya tinggal puing- puing batu.

Tidak jelas puing-puing tersebut merupakan bangunan apa dan peninggalan masa apa. Peninggalan masa Belanda ataukah bangunan peninggalan masa kerajaan Majapahit mengingat dekat dengan wilayah Mojokerto dan wilayah Jombang.

Tetapi penduduk Manduro menyakininya sebagai peninggalan zaman kerajaan Majapahit dan peninggalan zaman Wali/ Sunan terutama Sunan Geseng. (riz)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *